Rabu, 08 April 2009

SEMANGAT PANDANGAN TEORI ILMU PENGETAHUAN

DALAM ASPEK SOSIAL (PETERNAKAN)

Oleh

Munandar Sulaeman

Aspek sosial (peternakan) pada dewasa ini sering mendapat kritikan tajam sehingga ada anggapan bahwa aspek sosial kurang penting bahkan dipertanyakan “sementara orang” keberadaannya di Fakultas Peternakan. Kecenderungan pandangan tersebut menimblkan pertanyaan besar, apakah memang demikian keadaannya atau sebagai akibat kerancuan dan kekacauan cara berpikir “sementara orang” yang tidak berwawasan filsafat dan teori ilmu pengetahuan dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai ideologi dan sebagai instrumen kekuasaan. Kalau memang sinyalemen itu benar, maka pandangan tersebut adalah sesat dan telah meninggalkan kaidah kebenaran ilmu pengetahuan.

Pada uraian ini akan mencoba mengungkapkan landasan aspek sosial (peternakan) beserta kemungkinan kajian teori ilmu pengetahuannya, dilihat dari kacamata filsafat ilmu pengetahuan. Sehingga kajian sosial (peternakan) adalah suatu upaya mencari kebenaran ilmiah, baik dalam konteks pembenaran (contex of justification) maupun dalam konteks pengembangan penemuan realitas obyektif (contex of discovery).

Tiga Landasan Aspek Sosial (Peternakan)

Ada tiga landasan aspek sosial (peternakan) yang berkaitan dengan konteks penemuan atau “contex of discovery’ dan konteks pembenaran atau “contex of justification”. Konteks penemuan berkaitan dengan obyeknya yaitu masyarakat (peternak) dan konteks pembenaran berkaitan dengan cara pengamatannya dan penggolonganya menurut sistem ilmu pengetahuan.

Berdasarkan obyeknya

Obyek aspek sosial adalah para peternak sebagai anggota masyarakat atau masyarakat peternak, yaitu seluruh penduduknya yang beternak tanpa memperhatikan jenis tempat tinggal. Peternak adalah manusia dengan ternaknya yang terkait dalam suatu kegiatan berupa : tata kerja, sistem ekonomi dan terkait dengan masyarakat itu sendiri dalam suatu pola hubungan kekuasaa dan suatu sistem sosial. Tata kerrja adalah sustu pola termasuk teknologi dalam mengelola ternaknya (tradisional atau maju). Sedangkan sistem ekonomi peternakan berarti apa yang dilakukan manusia terhadap ternaknya adalah berdimensi ekonomi atau bernilai ekonomi. Akibat kaitan manusia dengan ternaknya dalam konteks budaya, maka membentuk suatu tatanan masyarakat peternak, yang tidak berbeda dengan masyarakat lainnya sesuai kegiatan usahanya.

Masyarakat peternak secara alami membentuk suatu pola hubungan hirarki antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Wujud dari proses hubungan manusia dengan ternak melalui sistem tata kerja, ekonomi, sosial dan kemasyarakatan tersebut membangun apa yang disebut struktur sosial masyarakat peternak, yang direfleksikan dalam kelembagaan (institusi). Kelembagaan peternakan berupa aktivitas dalam tipe dan cara bagaimana suatu kegiatan (beternak) dilakukan. Kegiatan beternak tersebut disederhanakan dalam bentuk model-model, aturan-aturan, undang-undang, yang berkaitan dengan cara beternak (hasil adaptasi dari Planck.Ulrich, 1989). Model beternak adalah berbagai kelembagaan beternak yang keberadannya diakui dan dterapkan masyarakat untuk mencapai harapan dan cita-citanya, seperti model hak milik, bagi hasil atau sistem PIR dan lainnya.

Hubungan manusia dengan ternak adalah dijembatani oleh sistem tersebut, yang membentuk struktur peternakan dapat bersifat total, menjadi masyarakat peternak seperti di Pangalengan, sehingga dari usaha ternak berdampak dapat menghidupi keluarganya dan menunjang kebutuhannya. Realitas obyektif akibat hubungan manusia dengan ternak merupakan tantangan ilmuwan, karena masih ada segelintir kalangan akademik yang berkesadaran palsu, yang berfikir naif dan tumpul serta tidak peka atas kenyataan aspek sosial manusia peternaknya. Sebagai contoh kasus (obyek) yang mengundang perhatian kalangan ilmuwan adalah adanya proses “penghisapan”, akibat pembagian (share) keuntungan yang tidak adil, masih banyaknya masyarakat yang mengaku sebagai peternak yang termasuk golongan ekonomi lemah atau miskin, seperti peternak pemilikan skala kecil atau hanya sebagai pemaro.

Berdasarkan Ilmu Pengetahuan

Ada dua arus pemikiran pandangan ilmu pengetahuan tentang realitas obyektif yaitu:

a. Segi Filsafat (Manusia)

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berberpikir (Descartes : Cogito Ergo Sum; saya berpikir maka saya ada). Manusia yang berpikir artinya mencari makna dalam kehidupan, sehingga jelas apa yang dituju. Demikian pula pekerjaan (peternak) sebagai fenomena, artinya sebagai pernyataan normatif, bagaimana manusia hidup dan mengorganisasikan dirinya sebagai upaya membangun cara hidup (ideologi). Dengan demikian jelas bahwa pekerjaan (peternak) adalah sebagai realitas obyektif manusia (sosial), bukan hanya obnyeknya (ternak).

b. Segi Metode Ilmu Pengetahuan (Peternakan)

Apa yang disebut dengan ilmu peternakan termasuk aspek sosial peternakan adalah merupakan hasil kajian dari berbagai metode ilmu pengetahuan. Demkian halnya aspek sosial peternakan (yang dilembagakan dengan jurusan sosial-ekonomi peternakan) adalah terkait ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan yang meliputi aspek kawasan ilmu pengetahuan dan metode ilmu pengetahuan atau dalam filsafat ilmu pengetahuan meliputi aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis.

Kawasan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan (peternakan) untuk sampai atau ditrasformasikan menjadi ilmu pengetahuan ilmiah adalah melalui tahapan-tahapan misalnya (paradigma positivisme, yang berlaku sekarang) penyusunan logika, hipotetika dan verifikasi. Peternakan sebagai ilmu pengetahuan empiris, maka dimulai dengan membahas data sebagai obyeknya. Kemudian data dianalisis dengan metode tertentu dan analisis tersebut dilakukan berdasarkan teori yang ada. Untuk mengklarifikasi suatu teori maka melakukan analisis data sehingga sampai tersusun hipotesis, Hipotesis tersebut untuk kemudian di verifikasi atau difalsifikasi (rasionalis kritis). Apabila teori tersebut dikukuhkan data maka dapat memperkuat teori, atau sebaliknya apabila hipotesis tersebut tidak sesuai dengan data yang diperolehnya maka teori tersebut ditolaknya. Dalam khazanah ilmu pengetahuan metode tidaklah harus sama, tetapi banyak metode sehingga disebut pluralisme metodologis (methodological pluralism); dengan metode yang pluralis maka ilmu itu relatif, artinya ilmu menyatakan kebenaran secara eksplisit tetapi terbuka untuk dikaji.

Peternakan sebagai realitas (manusia dan ternak) adalah fakta yang juga sekaligus mempunyai arti (meaning). Demikian juga manusia (peternak) mempunyai pikiran (kegiatan berpikir) yang menghasilkan pengetahuan. Maka substansi pokok dari ilmu pengetahuan peternakan sebagai realitas adalah mempunyai tiga kawasan penting yaitu : fakta, arti dan pengetahuan.

Fakta:

Apa yang merupakan fakta dari realitas peternakan (manusia dengan ternak) dapat dikaji secara empirik, diklarifikasi (erklaren) oleh ilmu pengetahuan sehingga dapat merupakan fakta sebagai ilmu pengetahuan (alamiah) dan manusia sebagai limu pengetahuan sosial. Hal yang bersifat fisik adalah melalui pengkajian empirik untuk menentapkan hukum-hukm alam (biologis), mulai dari deduktif nomologis, empirik logis (hukum kausal) dan kritik logis (K. Propper).

Arti (Meaning)

Fakta (manusia dan ternak) yang menghasilkan kebudayan (peternakan) juga mengandung arti (makna). Sehingga dengan sendirinya diperlukan ilmu untuk mengungkap makna (meaning) tersebut, yaitu dengan interpretasi dan memahami (verstehen), tidak dengan hukum kausal (empirik logis). Memahami dalam hal ini artinya mempunyai fungsi heurisik (yaitu teori menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah). Yang dimaksud dengan pemahaman (verstehen) yaitu cara pengembangan ilmu pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan manusia dengan menempatkan .diri melalui pikiran dalam situasi dan kondisi orang lain, dengan tujuan untuk memahami pikiran, pandangan, perasaan, cita-cita, dorongan dan kemampuannya (Wuisman, 1966:49). Pemahaman sebagai metode akan menghasilkan hipotesis yang logis dan bila perlu dapat diuji kembali. Untuk mengkaji arti atau makna manusia yang beternak, dapat dilakukan dengan hermeneutik yaitu memberikan pemahaman (understanding) yang bersifat menyeluruh dan mendalam tentang gejala yang merupakan obyek studi khas darinya (Dilthey dalam Wuisman, 1966:50). Manusia sebagai obyek tidak dapat direduksi secara naif hanya melalui statistik saja, tetapi manusia punya cita-cita, perasaan, kesan dan pikiran yang bermakna. Dipahami fenomena dengan cara melihat hakekat secara intuitif, transparan terhadap gejala yang diajak bicara, membayangkan gejala dalam keadaan yang berbeda (variasi editis), sehingga ketemu dengan hakekat (noumena).

Pengetahuan

Manusia adalah makhluk berpikir yang menghasilkan pengetahuan. Oleh karena ilmu pengetahuan pun mempunyai kawasan tentang pengetahuan. Studi tentang pengetahuan manusia adalah kritik diri (self critism), ukurannya adalah kemajuan, mengangkat harkat dan martabat (emansipasi) masyarakat (peternak) dan mengkritik dengan melihat ukurannya. Ada tendensi kondisi pengetahuan sekarang hanya berfungsi instrumental, untuk menguasai dan bahkan untuk mengeksaploitasi dan kepuasan bukan untuk mengangkat harkat dan martabat (emansipatoris) manusia.

Pandangan Teori Ilmu Pengetahuan (Cara Kerja)

Setelah menemukan kawasan yang akan diselidiki oleh ilmu pengetahuan yang terdiri dari fakta, arti dan pengetahuan, sebagai realitas yang sifatnya pluralistik, maka dengan sendirinya metodenya bersifat pluralis dan cara kerjanya pun berbeda-beda. Realitas kawasan ilmu pengetahuan bagian fakta merupakan bagian dari pandangan teori positivisme logis (Carnap, Der Weiner Kreis/kelompok Wina; Cara kerjanya: Logika-Hipotetiko-Verifikatif). Sedangkan kawasan arti dan pengetahuan dari obyek ilmu (peternakan), merupakan bagian kajian pendekatan kualitatif, yang oleh Denzin dan Lincoln (1994:13) dijelaskan dengan paradigma interpretatif (pospositivisme). Interpretasi sebagai salah satu model eksplanasi yang bertujuan untuk menginterpretasikan terhadap makna kejadian atau aktivitas manusia bagian dari konteks sosial. (Little, 1991). Menurut Guba dan Lincoln (1994) untuk pengkajian kualitatif dapat dilakukan dengan pospositivisme, konstruktivisme dan teori kritik. Masing-masing cara kerja teori ilmu pengetahuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pospositivisme: realisme. kritik falsifikasi, hipotetik

2. Konstruktivisme: konseptual realitas, teoritis, interpretasi-teoritis (hermeneutik-dialektik)

3. Teori Kritik: konseptual realitas, subyektif, pencarian nilai, dialog/dialektika.

Penutup

Berdasarkan pandangan teori ilmu pengetahuan dalam aspek sosial (peternakan), maka dapat diketahui kawasan fakta (alamiah) yang dilakukan dengan kajian metode positivistik, sedangkan kawasan arti (meaning) dan kawasan pengetahuan, merupakan bagian pospositivisme, konstruktivisme dan teori kritis. Pandangan yang sangat naif dan tidak berwawasan teori ilmu pengetahuan, apabila pengkajian peternakan hanya dilakukan oleh paradigma positivistik. Sehingga untuk pengembangan teori ilmu pengetahuan dalam aspek sosial peternakan selanjutnya, perlu diujicobakan dalam berbagai kesempatan penelitian dan perlu peningkatan pemahaman tentang teori ilmu pengetahuan, agar tidak terjebak oleh pemikiran sempit bahwa ilmu hanya bersifat instrumental (alat kekuasaan) seperti disinyalir terjadi pada sementara orang.

Daftar Pustaka

1. Denzin dan Lincoln (Edt), 1994. Handbook of Qualitatif Research. Sage Publication Inc. London

2. Guba G Egon, 1990. The ParadigmDialog. Sage Publication Inc. California

3. Little Daniel, 1991. Varieties of Social Explanation. West View Press. San Franscisco

4. Planck Ulrich, 1989. Sosiologi Pertanian. Terj. Soeparto, Penerbit YOI, Jakarta

5. Soerjanto P. 1985. Keragaman dan Pengelompokan Ilmu Pengetahuan. Bahan Kuliah Prog Doktor UI Jakarta

6. Wuisman M.J. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Penerbit Fak. Ekonomi UI. Jakarta

Selasa, 08 April 2008

SEMANGAT PANDANGAN TEORI ILMU PENGETAHUAN DALAM ASPEK SOSIAL (PETERNAKAN)

Oleh

Munandar Sulaeman

Aspek sosial (peternakan) pada dewasa ini sering mendapat kritikan tajam sehingga ada anggapan bahwa aspek sosial kurang penting bahkan dipertanyakan “sementara orang” keberadaannya di Fakultas Peternakan. Kecenderungan pandangan tersebut menimblkan pertanyaan besar, apakah memang demikian keadaannya atau sebagai akibat kerancuan dan kekacauan cara berpikir “sementara orang” yang tidak berwawasan filsafat dan teori ilmu pengetahuan dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai ideologi dan sebagai instrumen kekuasaan. Kalau memang sinyalemen itu benar, maka pandangan tersebut adalah sesat dan telah meninggalkan kaidah kebenaran ilmu pengetahuan.

Pada uraian ini akan mencoba mengungkapkan landasan aspek sosial (peternakan) beserta kemungkinan kajian teori ilmu pengetahuannya, dilihat dari kacamata filsafat ilmu pengetahuan. Sehingga kajian sosial (peternakan) adalah suatu upaya mencari kebenaran ilmiah, baik dalam konteks pembenaran (contex of justification) maupun dalam konteks pengembangan penemuan realitas obyektif (contex of discovery).

Tiga Landasan Aspek Sosial (Peternakan)

Ada tiga landasan aspek sosial (peternakan) yang berkaitan dengan konteks penemuan atau “contex of discovery’ dan konteks pembenaran atau “contex of justification”. Konteks penemuan berkaitan dengan obyeknya yaitu masyarakat (peternak) dan konteks pembenaran berkaitan dengan cara pengamatannya dan penggolonganya menurut sistem ilmu pengetahuan.

Berdasarkan obyeknya

Obyek aspek sosial adalah para peternak sebagai anggota masyarakat atau masyarakat peternak, yaitu seluruh penduduknya yang beternak tanpa memperhatikan jenis tempat tinggal. Peternak adalah manusia dengan ternaknya yang terkait dalam suatu kegiatan berupa : tata kerja, sistem ekonomi dan terkait dengan masyarakat itu sendiri dalam suatu pola hubungan kekuasaa dan suatu sistem sosial. Tata kerrja adalah sustu pola termasuk teknologi dalam mengelola ternaknya (tradisional atau maju). Sedangkan sistem ekonomi peternakan berarti apa yang dilakukan manusia terhadap ternaknya adalah berdimensi ekonomi atau bernilai ekonomi. Akibat kaitan manusia dengan ternaknya dalam konteks budaya, maka membentuk suatu tatanan masyarakat peternak, yang tidak berbeda dengan masyarakat lainnya sesuai kegiatan usahanya.

Masyarakat peternak secara alami membentuk suatu pola hubungan hirarki antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Wujud dari proses hubungan manusia dengan ternak melalui sistem tata kerja, ekonomi, sosial dan kemasyarakatan tersebut membangun apa yang disebut struktur sosial masyarakat peternak, yang direfleksikan dalam kelembagaan (institusi). Kelembagaan peternakan berupa aktivitas dalam tipe dan cara bagaimana suatu kegiatan (beternak) dilakukan. Kegiatan beternak tersebut disederhanakan dalam bentuk model-model, aturan-aturan, undang-undang, yang berkaitan dengan cara beternak (hasil adaptasi dari Planck.Ulrich, 1989). Model beternak adalah berbagai kelembagaan beternak yang keberadannya diakui dan dterapkan masyarakat untuk mencapai harapan dan cita-citanya, seperti model hak milik, bagi hasil atau sistem PIR dan lainnya.

Hubungan manusia dengan ternak adalah dijembatani oleh sistem tersebut, yang membentuk struktur peternakan dapat bersifat total, menjadi masyarakat peternak seperti di Pangalengan, sehingga dari usaha ternak berdampak dapat menghidupi keluarganya dan menunjang kebutuhannya. Realitas obyektif akibat hubungan manusia dengan ternak merupakan tantangan ilmuwan, karena masih ada segelintir kalangan akademik yang berkesadaran palsu, yang berfikir naif dan tumpul serta tidak peka atas kenyataan aspek sosial manusia peternaknya. Sebagai contoh kasus (obyek) yang mengundang perhatian kalangan ilmuwan adalah adanya proses “penghisapan”, akibat pembagian (share) keuntungan yang tidak adil, masih banyaknya masyarakat yang mengaku sebagai peternak yang termasuk golongan ekonomi lemah atau miskin, seperti peternak pemilikan skala kecil atau hanya sebagai pemaro.

Berdasarkan Ilmu Pengetahuan

Ada dua arus pemikiran pandangan ilmu pengetahuan tentang realitas obyektif yaitu:

a. Segi Filsafat (Manusia)

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berberpikir (Descartes : Cogito Ergo Sum; saya berpikir maka saya ada). Manusia yang berpikir artinya mencari makna dalam kehidupan, sehingga jelas apa yang dituju. Demikian pula pekerjaan (peternak) sebagai fenomena, artinya sebagai pernyataan normatif, bagaimana manusia hidup dan mengorganisasikan dirinya sebagai upaya membangun cara hidup (ideologi). Dengan demikian jelas bahwa pekerjaan (peternak) adalah sebagai realitas obyektif manusia (sosial), bukan hanya obnyeknya (ternak).

b. Segi Metode Ilmu Pengetahuan (Peternakan)

Apa yang disebut dengan ilmu peternakan termasuk aspek sosial peternakan adalah merupakan hasil kajian dari berbagai metode ilmu pengetahuan. Demkian halnya aspek sosial peternakan (yang dilembagakan dengan jurusan sosial-ekonomi peternakan) adalah terkait ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan yang meliputi aspek kawasan ilmu pengetahuan dan metode ilmu pengetahuan atau dalam filsafat ilmu pengetahuan meliputi aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis.

Kawasan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan (peternakan) untuk sampai atau ditrasformasikan menjadi ilmu pengetahuan ilmiah adalah melalui tahapan-tahapan misalnya (paradigma positivisme, yang berlaku sekarang) penyusunan logika, hipotetika dan verifikasi. Peternakan sebagai ilmu pengetahuan empiris, maka dimulai dengan membahas data sebagai obyeknya. Kemudian data dianalisis dengan metode tertentu dan analisis tersebut dilakukan berdasarkan teori yang ada. Untuk mengklarifikasi suatu teori maka melakukan analisis data sehingga sampai tersusun hipotesis, Hipotesis tersebut untuk kemudian di verifikasi atau difalsifikasi (rasionalis kritis). Apabila teori tersebut dikukuhkan data maka dapat memperkuat teori, atau sebaliknya apabila hipotesis tersebut tidak sesuai dengan data yang diperolehnya maka teori tersebut ditolaknya. Dalam khazanah ilmu pengetahuan metode tidaklah harus sama, tetapi banyak metode sehingga disebut pluralisme metodologis (methodological pluralism); dengan metode yang pluralis maka ilmu itu relatif, artinya ilmu menyatakan kebenaran secara eksplisit tetapi terbuka untuk dikaji.

Peternakan sebagai realitas (manusia dan ternak) adalah fakta yang juga sekaligus mempunyai arti (meaning). Demikian juga manusia (peternak) mempunyai pikiran (kegiatan berpikir) yang menghasilkan pengetahuan. Maka substansi pokok dari ilmu pengetahuan peternakan sebagai realitas adalah mempunyai tiga kawasan penting yaitu : fakta, arti dan pengetahuan.

Fakta:

Apa yang merupakan fakta dari realitas peternakan (manusia dengan ternak) dapat dikaji secara empirik, diklarifikasi (erklaren) oleh ilmu pengetahuan sehingga dapat merupakan fakta sebagai ilmu pengetahuan (alamiah) dan manusia sebagai limu pengetahuan sosial. Hal yang bersifat fisik adalah melalui pengkajian empirik untuk menentapkan hukum-hukm alam (biologis), mulai dari deduktif nomologis, empirik logis (hukum kausal) dan kritik logis (K. Propper).

Arti (Meaning)

Fakta (manusia dan ternak) yang menghasilkan kebudayan (peternakan) juga mengandung arti (makna). Sehingga dengan sendirinya diperlukan ilmu untuk mengungkap makna (meaning) tersebut, yaitu dengan interpretasi dan memahami (verstehen), tidak dengan hukum kausal (empirik logis). Memahami dalam hal ini artinya mempunyai fungsi heurisik (yaitu teori menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah). Yang dimaksud dengan pemahaman (verstehen) yaitu cara pengembangan ilmu pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan manusia dengan menempatkan .diri melalui pikiran dalam situasi dan kondisi orang lain, dengan tujuan untuk memahami pikiran, pandangan, perasaan, cita-cita, dorongan dan kemampuannya (Wuisman, 1966:49). Pemahaman sebagai metode akan menghasilkan hipotesis yang logis dan bila perlu dapat diuji kembali. Untuk mengkaji arti atau makna manusia yang beternak, dapat dilakukan dengan hermeneutik yaitu memberikan pemahaman (understanding) yang bersifat menyeluruh dan mendalam tentang gejala yang merupakan obyek studi khas darinya (Dilthey dalam Wuisman, 1966:50). Manusia sebagai obyek tidak dapat direduksi secara naif hanya melalui statistik saja, tetapi manusia punya cita-cita, perasaan, kesan dan pikiran yang bermakna. Dipahami fenomena dengan cara melihat hakekat secara intuitif, transparan terhadap gejala yang diajak bicara, membayangkan gejala dalam keadaan yang berbeda (variasi editis), sehingga ketemu dengan hakekat (noumena).

Pengetahuan

Manusia adalah makhluk berpikir yang menghasilkan pengetahuan. Oleh karena ilmu pengetahuan pun mempunyai kawasan tentang pengetahuan. Studi tentang pengetahuan manusia adalah kritik diri (self critism), ukurannya adalah kemajuan, mengangkat harkat dan martabat (emansipasi) masyarakat (peternak) dan mengkritik dengan melihat ukurannya. Ada tendensi kondisi pengetahuan sekarang hanya berfungsi instrumental, untuk menguasai dan bahkan untuk mengeksaploitasi dan kepuasan bukan untuk mengangkat harkat dan martabat (emansipatoris) manusia.

Pandangan Teori Ilmu Pengetahuan (Cara Kerja)

Setelah menemukan kawasan yang akan diselidiki oleh ilmu pengetahuan yang terdiri dari fakta, arti dan pengetahuan, sebagai realitas yang sifatnya pluralistik, maka dengan sendirinya metodenya bersifat pluralis dan cara kerjanya pun berbeda-beda. Realitas kawasan ilmu pengetahuan bagian fakta merupakan bagian dari pandangan teori positivisme logis (Carnap, Der Weiner Kreis/kelompok Wina; Cara kerjanya: Logika-Hipotetiko-Verifikatif). Sedangkan kawasan arti dan pengetahuan dari obyek ilmu (peternakan), merupakan bagian kajian pendekatan kualitatif, yang oleh Denzin dan Lincoln (1994:13) dijelaskan dengan paradigma interpretatif (pospositivisme). Interpretasi sebagai salah satu model eksplanasi yang bertujuan untuk menginterpretasikan terhadap makna kejadian atau aktivitas manusia bagian dari konteks sosial. (Little, 1991). Menurut Guba dan Lincoln (1994) untuk pengkajian kualitatif dapat dilakukan dengan pospositivisme, konstruktivisme dan teori kritik. Masing-masing cara kerja teori ilmu pengetahuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pospositivisme: realisme. kritik falsifikasi, hipotetik

2. Konstruktivisme: konseptual realitas, teoritis, interpretasi-teoritis (hermeneutik-dialektik)

3. Teori Kritik: konseptual realitas, subyektif, pencarian nilai, dialog/dialektika.

Penutup

Berdasarkan pandangan teori ilmu pengetahuan dalam aspek sosial (peternakan), maka dapat diketahui kawasan fakta (alamiah) yang dilakukan dengan kajian metode positivistik, sedangkan kawasan arti (meaning) dan kawasan pengetahuan, merupakan bagian pospositivisme, konstruktivisme dan teori kritis. Pandangan yang sangat naif dan tidak berwawasan teori ilmu pengetahuan, apabila pengkajian peternakan hanya dilakukan oleh paradigma positivistik. Sehingga untuk pengembangan teori ilmu pengetahuan dalam aspek sosial peternakan selanjutnya, perlu diujicobakan dalam berbagai kesempatan penelitian dan perlu peningkatan pemahaman tentang teori ilmu pengetahuan, agar tidak terjebak oleh pemikiran sempit bahwa ilmu hanya bersifat instrumental (alat kekuasaan) seperti disinyalir terjadi pada sementara orang.

Daftar Pustaka

1. Denzin dan Lincoln (Edt), 1994. Handbook of Qualitatif Research. Sage Publication Inc. London

2. Guba G Egon, 1990. The ParadigmDialog. Sage Publication Inc. California

3. Little Daniel, 1991. Varieties of Social Explanation. West View Press. San Franscisco

4. Planck Ulrich, 1989. Sosiologi Pertanian. Terj. Soeparto, Penerbit YOI, Jakarta

5. Soerjanto P. 1985. Keragaman dan Pengelompokan Ilmu Pengetahuan. Bahan Kuliah Prog Doktor UI Jakarta

6. Wuisman M.J. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Penerbit Fak. Ekonomi UI. Jakarta